08 Februari 2008

POSISI MANUSIA DIHADAPAN ALLAH SWT

Manusia adalah makhluk yang lain daripada yang lain.
Kalau kita hanya sekedar memandang sistem pernafasan, peredaran darah, serta bagaimana dia makan dan mengolah makanan dan kemudia memandang bagaimana manusia membuang sisanya, maka dapat dikatakan bahwa manusia itu adalah sejenis hewan atau binatang.[1]
Namun demikian, apabila kita memandang manusia dengan nilai hakiki yang merupakan keistimewaan manusia dari hewan-hewan lain, yaitu memiliki bentuk yang sebaik-baiknya yaitu bentuk lahir dan bentuk batin, bentuk tubuh dan bentuk rukhani.
Bentuk tubuh manusia melebihi keindahan bentuk tubuh hewan atau binatang. Sedangkan ukuran manusia itu diciptakan Allah dalam proporsi yang harmonis dan seimbang dengan wajah yang mengandung kegembiraan.
Hal ini tergambar di dalam Q.S. at-Tiin (95) : 4 :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”).[2]

Tidak hanya terbaik dalam bentuk saja, manusia dilengkapi pula dengan kemuliaan dan keistimewaan lainnya. Kemuliaan dan keistimewaan manusia yang dimaksud adalah karena akal manusia diperlengkapi oleh Allah dengan daya khayal dan daya pikir untuk memikirkan zamannya yang lampau, yang sekarang dan akan datang. Serta diperlengkapi dengan perasaan dan kehendak.
Manusia merupakan makhluk yang mulia apabila dibandingkan dengan hewan atau binatang, sebab makan dengan jarinya, tidak dengan mulutnya yang langsung dijulurkan ke tanah. Manusia istimewa karena pandai membedakan sesuatu. Manusia istimewa karena berdirinya tegak lurus, tidak memanjang seperti kerbau atau menjalar seperti ular. Manusia istimewa karena memiliki wajah yang cantik dan ganteng. Manusia istimewa karena suka tersenyum, berbeda dengan hewan-hewan atau binatang-binatang yang tidak pernah bisa tersenyum, seperti : kera, anjing, kucing, tikus, dan sebagainya.[3]
Kemuliaan ini oleh Allah difirmankan dalam :
Q.S. al-Isra’ (17) : 70 :
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam” .[4]

Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an membicarakan tentang manusia.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia terdiri dari dua unsur pokok. Dua unsure pokok yang dimaksud adalah : gumpalan tanah dan hembusan rukh, sebagaimana difirmankan Allah dalam :
Q.S. as-Shad (38) : 71-72 :
Ø “Ketika Tuhanmu berkata kepada Malaikat : “Aku hendak menciptakan manusia dari tanah liat (71)
Ø “Ketika telah Kubentuk ia. Dan Kutiupkan rukhKu dalam dirinya, Hendaklah kamu tunduk bersujud kepada-Nya (72)“.[5]

Q.S. al-Baqarah (2) : 30 :
“Dan tatkala Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat :
“Aku hendak jadikan khalifah di muka bumi; Mereka bertanya : “Apakah Kau tempat orang yang merusak di sana. Dan menumpahkan darah, sedangkan kami bertasbih memuji Engkau. Dan menguduskan nama-Mu?” (Tuhan menjawab dan) berfirman “Sungguh Aku tahu apa yang tiada kamu tahu”. [6]

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa sebelum Allah menciptakan manusia, Allah telah menyampaikan rencana penciptaannya ini kepada Malaikat, yaitu agar manusia menjadi khalifah di bumi.
Dari sini jelas bahwa posisi manusia dihadapan Allah adalah sebagai ciptaan Allah, dan ini artinya bahwa manusia itu adalah hamba Allah.[7]
[1] Mahmud, Musthafa, Rahasia dalam al-Qur’an, (Pustaka Azzam : Jakarta, 2000), 118.

[2] Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Di bawah naungan Qur’an), Jilid 24, (Gema Insani : Jakarta, 2002), 172-174.

[3] Mahmud, Musthafa, op.cit, 120 -122.
[4] Jassin, H, B, Bacaan Mulia, (Djambatan : Jakarta, 1977), 390.
[5] Jassin, H, B, Ibid, 637.
[6] Jassin, H, B, Ibid, 6
[7] Jassin, H, B, Ibid, 6.
Sebagai hamba Allah, dia diwajibkan melaksanakan tugas kekhalifahan yaitu membangun dan mengolah bumi sesuai dengan petunjuk dan kehendak Allah.
Oleh karena itu ditetapkannyalah tujuan hidup manusia, yaitu mengabdi kepada Allah sebagaimana difirmankan Allah dalam Q.S. adz-Dzariat (51) : 56 :
“Dan Aku telah menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”).[1]

Untuk mensukseskan tugas-tugasnya selaku khalifah Allah di dunia, Allah melengkapi manusia dengan potensi-potensi tertentu, antara lain :

Kemampuan untuk mengetahui sifat-sifat, fungsi dan kegunaan segala macam benda. Hal ini tergambar dalam firman Allah :
Q.S. al-Baqarah (2) : 31 :
“Dia telah mengajarkan kepada Adam nama (benda-benda) seluruhnya”.

Ditundukkannya bumi, langit dan segala isinya : bintang-bintang, planet-planet dan lain sebagainya oleh Allah kepada manusia sebagaimana difirmankan Allah dalam Q.S. al-Jatsiah (45) : 12-13 :
“Allah, Dialah yang menundukkan laut bagimu, supaya berlayar di atasnya, kapal-kapal atas perintah-Nya, supaya kamu cari karunia-Nya. Dan supaya kamu bersyukur hendak-Nya (12)”.
“Dan Dia telah tundukkan bagimu. Apa yang di langit dan apa yang di bumi. Semuanya (sebagai karunia) daripada-Nya. Sungguh, itu adalah tanda-tanda bagi orang yang menggunkan pikiran (13)” .[2]
Perlu digaris bawahi di sini bahwa penaklukan tersebut dilakukan oleh Allah, bukan oleh manusia. Kedudukan manusia dengan benda-benda tersebut dari segi penundukan dan kehambaan kepada Allah adalah sama dan setingkat, yaitu memang merupakan hamba Allah.

Allah menganugerahkan kepada manusia akal pikiran serta panca indera sebagaimana difirmankan dalam Q.S. al-Mulk (67) : 23 :
“Katakanlah Dialah yang menciptakan kamu. Dan menjadikan pendengaran bagimu. Penglihatan dan hati sanubari. (Tetapi) sedikit saja kamu bersyukur” [3] .

Allah juga menganugerahkan kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan dunia ini sebagaimana difirmankan dalam :
Q.S. ar-Ra’ad (13) : 11 :
“Dan guntur tasbih memuji (Allah). Demikian pula para Malaikat. Penuh ketakutan pada-Nya. Dan Dia lontarkan halilintar, menimpa siapa yang Dia tuju. Sementara mereka bertengkar mengenai Allah. Tetapi (Allah) hebat kekuasaan-Nya”. [4]

Potensi-potensi inilah yang mempunyai peran penting dalam pelaksanaan tugas kekhalifahan manusia sebagai hamba Allah. Sebagai hamba Allah, manusia wajib beriman kepada Allah.
Apabila dia telah beriman kepada Allah, maka dia tidak boleh menganggur atau berpangku tangan saja. Selama nyawa dikandung badan, manusia harus ingat bahwa dengan potensi-potensi yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia harus dipergunakan untuk mengabdikan dirinya kepada Allah. Seluruh hidupnya hendaklah dijadikan ibadah.
Menurut Ali bin Abi Thalhah, yang diterimanya dari Ibnu Abbas, arti untuk beribadah adalah mengakui dirinya sebagai hamba Allah.
Di dalam Q.S. adz-Dzariyat (51) : 56 :
“Dan Aku telah menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
Ayat ini memperingatkan kepada manusia bahwa manusia harus tunduk dan patuh kepada Allah.
Oleh karena itu cara yang baik bagi manusia adalah menginsyafi kegunaan hidupnya, sehingga dia pun tidak merasa keberatan mengerjakan berbagai ibadah kepada Allah.
Apabila manusia mengenal pada “budi luhur”, niscaya mengenal do’a yang dinamai “terimakasih”.
Apabila ada orang yang menolong kita melepaskan diri dari malapetaka, maka kita pun harus segera mengucapkan terimakasih. Apabila kita mengembara di suatu padang pasir dan melakukan perjalanan yang sangat jauh, di dalam perjalanan itu kita kehausan dan sukar atau sulit untuk mendapat air. Tiba-tiba disuatu tempat yang sunyi sepi kita bertemu dengan seseorang lalu seseorang itu membawakan kepada kita seteguk air maka kita pun harus segera mengucapkan terimakasih. Kita mengucapkan terimakasih hendaknya dengan rendah hati dan tulus ikhlas sebab kita telah berhutang budi kepadanya.[5]
Tidak ada manusia yang membantah keluhuran budi orang yang berterimakasih.
Maka bandingkanlah dengan seluruh anugerah atau karunia Allah. Sejak dari perut ibu kemudian lahir dan sampai menutup mata, tidaklah dapat dihitung dan dinilai betapa besar nikmat dan karunia Allah kepada manusia.
Maka timbulah pertanyaan di dalam hati kita “Apakah tidak patut manusia berterimakasih atas seluruh anugerah atau karunia Allah itu !?!”.
Di sinilah Allah membimbing manusia dan memberi pengarahan.
Allah menciptakan Jin dan Manusia tidak untuk yang lain, tetapi hanya untuk mengabdi, beribadah-Nya. Beribadah yaitu mengakui bahwa manusia itu adalah hamba Allah, tunduk kepada kehendak-Nya.
Ibadah diawali dengan “Iman”. Yaitu percaya bahwa Allah itu ada.
Percaya kepada Allah, sudah menjadi dasar hidup itu sendiri. Maka “Iman” yang telah tumbuh itu, wajib dibuktikan dengan “amal yang saleh”. Yaitu perbuatan yang baik. “Iman” dan “Amal Saleh” inilah pokok ibadah.
Apabila manusia telah mengaku beriman kepada Allah, niscaya percaya juga kepada Rasul-Nya.
Oleh karena itu firman Allah yang disampaikan oleh Rasul-Nya, wajib kita perhatikan. “Perintah-Nya” kita kerjakan dan “Larangan-Nya” kita tinggalkan. Kalau demikian, maka hendaknya seluruh hidup kita ini, kita dijadikan hanya beribadah kepada Allah. Shalat lima waktu, Puasa di bulan Ramadhan, berzakat kepada fakir miskin, adalah bagian kecil sebagai pematri dari seluruh ibadah. Semua kita kerjakan karena “Iman” kepada Allah, dan kita pun ber”amal saleh” untuk memberikan faedah kepada sesama manusia, yaitu dengan jalan menciptakan sesuatu, berusaha, mencari dan menambah ilmu serta membangun, berkemajuan dan berkebudayaan. Apabila semuanya itu kita kerjakan sebagai ibadah kita kepada Allah, dengan semata-mata menyadari bahwa posisi manusia dihadapan Allah adalah sebagai hamba Allah, maka InsyaAllah hidup manusia di dunia ini menjadi “berarti”[6].

[1] Jassin, H, B, Ibid, 733.
[2] Jassin, H, B, Ibid, 698.
[3] Jassin, H, B, Ibid, 798.
[4] Jassin, H, B, Ibid, 336.
[5] Asror, Miftahul, Kisah-kisah teladan buat anakku, (Mitra Pustaka : Yogjakarta, 2003), 66.
[6] Shihab, M, Quraish, Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Pustaka Hidayah : Bandung, 1999), 340

Kehidupan manusia sebagai hamba Allah tidak tanpa aturan. Kalau tidak demikian, maka tidak ada bedanya dengan hewan atau binatang.
Oleh karena itu Allah memberika pedoman yang jelas di dalam al-Qur’an, bahwa untuk menjadi hamba Allah yang baik, sejahtera dunia dan akherat, maka hidupnya harus mempunyai tujuan yang jelas dan pasti sesuai dengan petunjuk dari Allah.[1]
Oleh karena itu manusia harus pula menyadari hal-hal sebagai berikut:
1. Tujuan hidupnya
Sebagai hamba Allah, tujuan hidup manusia bukan untuk hidup sekehendaknya akan. Akan tetapi bagi orang yang arif dan merenungkannya dengan seksama, maka dia pasti akan menyadari dan memahami bahwa tujuan hidup ini adalah untuk mencari ridha Allah semata.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-An’am (6) : 162-163 :
Ø “Katakanlah : “ Shalatku, Ibadahku, Hidupku dan matiku adalah demi Tuhan semesta alam (162)”.

Ø “Tiada sekutu bagi-Nya. Demikianlah diperintahkan kepadaku. Dan akulah yang pertama dari orang yang menyerahkan diri(163)”.[2].

2. Tugas hidupnya
Sebagai hamba Allah, tugas hidup manusia adalah beribadah , yaitu mengabdikan diri kepada Allah dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu antara lain bekerja, bermasyarakat.[3]

3. Peranan hidupnya
Sebagai hamba Allah, peranan hidup manusia sebagai khalifah di bumi, yaitu mengolah dan membangun untuk memberika faedah kepada sesama manusia sebagaimana difirmankan Allah dalam Q.S. al – An’am (6) : 165 :
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa/pengatur (khalifah) di muka bumi. Dan meninggikan sebagian kamu beberapa derajat di atas yang lain untuk menguji kamu tentang pemberian-Nya kepadamu. Sungguh, Tuhanmu amat cepat dalam menyiksa. Tetapi sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang”. [4]

4. Pedoman hidupnya
Sebaga hamba Allah, pedoman hidup manusia adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika hidup tanpa pedoman, tentu manusia akan kesasar yang akhirnya celaka dan binasa sebagaimana difirmankan Allah dalam Q.S. an-Nisa (4) : 59 :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”). [5]

Dalam Q.S. an-Nisa (4) : 105 :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.[6]

5. Seseorang yang mesti diteladaninya
Sebagai hamba Allah, manusia agar hidupnya sukses maka dia harus mengambil teladan hidupnya, bercermin dan mencontoh manusia yang telah sukses serta dijamin suksesnya di dunia dan akherat. Manusia yang telah sukses tersebut adalah Muhammad Rasulullah SAW sebagaimana difirmankan Allah dalam Q.S. al-Ahzab (33) : 40 :

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, akan tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-Nabi. Dan Allah mengetahui segala sesuatu”. [7]

6. Seseorang yang menjadi kawan hidupnya
Sebagai hamba Allah, manusia hidup di dunia itu memang banyak kawan hidupnya. Akan tetapi untuk memperoleh sukses dalam segala hal, tentu mencari kawanpun harus benar-benar selektif serta harus sesuai dengan petunjuk Allah.
Apabila berkawan atau bersahabat dengan sembarangan, tidak memandang orang itu pendurhaka, kafir atau musyrik tentu dia akan terseret kepada golongan mereka.
Manusia yang ingin hidupnya selamat dan sukses, maka teman hidupnya adalah mukmin dan mukminat, sehingga mereka sama-sama akan berada dalam kasih sayang Allah sebagaimana tergambar didalam firman Allah Q.S. al-Hujurat (49) : 10 : “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rakhmat”. [8]

7. Seseorang yang menjadi lawan hidupnya
Sebagai hamba Allah, manusia hidup itu harus berhati-hati sebab ada musuh atau lawan yang sangat lihai bagai musuh dalam selimut. Dia membujuk, merayu pura-pura bersahabat padahal bermaksud jahat, dia dendam sehingga ingin manusia-manusia itu bersama dia dalam kutukan dan laknat Allah. Siapa dia ? tidak lain adalah syaitan musuh yang nyata. Hal ini tergambar dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah (2) : 168 :
“Hai, manusia makanlah apa yang halal dan baik yang ada di bumi. Dan jangalah kamu mengikuti langkah-langkah (jejak-jejak) syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”).[9]

8. Bekal hidupnya untuk kehidupan di dunia dan akherat kelak
Sebagai hamba Allah, manusia telah dianugerahi bekal oleh Allah agar manusia hidup dengan leluasa menghirup udara segar, bisa tidur nyenyak, bisa makan enak, dan sebagainya. Bekal yang dianugerahkan Allah itu adalah segala yang ada di langit dan di bumi (Q.S. al-Jatsiyah (45) : 13 :
“Dan Dia telah tundukkan bagimu. Apa yang di langit dan apa yang di bumi. Semuanya (sebagai karunia) daripada-Nya. Sungguh, itu adalah tanda-tanda bagi orang yang menggunkan pikiran“)[10]
[1] Ibrahim, Mustafa, dkk, Tafsir Pase, (Dian Arista : Jakarta, 2001), 24
[2] Jassin, H, B, Op.cit, 197.
[3] Shihab, M, Quraish, Membumikan al-Qur’an, (Mizan : Bandung, 1999), 241.
[4] Jassin, H, B, Op.cit, 198.
[5] Jassin, H, B, Ibid, 113.
[6] Jassin, H, B, Ibid, 125.
[7] Jassin, H, B, Ibid, 584.
[8] Jassin, H, B, Ibid, 721.
[9] Jassin, H, B, Ibid, 33.
[10] Jassin, H, B, Ibid, 698.

REFERENSI

Asror, Miftahul, Kisah-kisah teladan buat anakku, Mitra Pustaka : Yogjakarta, 2003.
Jassin, H, B, Bacaan Mulia, Djambatan : Jakarta, 1977
Ibrahim, Mustafa, dkk, Tafsir Pase, Dian Arista : Jakarta, 2001
Mahmud, Musthafa, Rahasia dalam al-Qur’an, Pustaka Azzam : Jakarta, 2000.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Di bawah naungan Qur’an), Jilid 24, Gema Insani : Jakarta, 2002.
Shihab, M, Quraish, Membumikan al-Qur’an, Mizan : Bandung, 1999.
-----------------------, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Pustaka Hidayah : Bandung, 1999.

Tidak ada komentar: