Pada prinsipnya, dimensi waktu dan masa itu tidak berlaku pada Dzat Allah SWT. Allah tidak mengenal adanya siang dan malam, masa sekarang, masa yang telah lalu dan masa yang akan datang. [1]
Allah SWT pun tidak berkembang, berkurang, ataupun berubah. Allah SWT tidak mengenal masa kanak-kanak, yang kemudian akan beranjak menjadi dewasa, lalu akhirnya menjadi tua. Allah tidak berawal dan tidak berakhir.[2]
Maka, ketika al-Qur’an menyebutkan Allah SWT itu sebagai Dzat Yang Maha Pertama dan Yang Maha Terakhir, bukan berarti yang pertama di sini dalam pengertian ada masa permulaannya, dan bukan pula yang terakhir ada masa berakhirnya. Karena, bagi Allah SWT itu tidak ada istilah sebelum dan sesudah.
Waktu yang berlaku ini adalah ciptaan Allah, sebagaimana juga makhluk ciptaan Allah SWT yang lainnya. Karenanya, Allah SWT Maha Ada sebelum adanya semua makhluk di alam raya ini, dan Maha Kekal serta Maha Abadi setelah hancur leburnya seluruh makhluk pada hari akhir (Kiamat) nanti. Sebagaimana dinyatakan di dalam firman Allah SWT
Q.S. al-Hadiid : 3 :
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir , Yang LAhir dan Yang Batin, Dan Dia tahu segala seuatu”.[3]
Allah SWT, Maha Hidup dalam Eksistensinya yang abadi. Sedangkan manusia baru hidup ketika dia dilahirkan, kemudian menjalani kehidupan itu, serta hari esok yang akan ditempuhnya.
Adapun kisah sejarah kehidupan manusia yang diwarnai oleh berbagai peristiwa atau kejadian dalam hidupnya, pada dasarnya telah tertulis serta terangkum dalam al-Qur’an, sebelum penciptaan ala mini dalam ilmu Allah. Sebagaimana firman Allah
Q.S. Ibrahim : 5 :
“Dan Kami utus Musa dengan ayat-ayat Kami. (disertai perintah) : ‘Bawalah kaummu keluar dari kegelapan. Masuk ke dalam cahaya. Dan ajarilah mereka mengingat hari-hari Allah’. Sungguh, dalam semuanya itu ada tanda-tanda bagi setiap orang yang sabar. Dan selalu bersyukur ”.[4]
Yang dimaksud dengan hari-hari Allah SWT adalah peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada umat-umat yang terdahulu, baik itu yang berhubungan dengan kenikmatan ataupun siksaan yang dialami oleh mereka. Yaitu, bencana banjir yang dialami oleh Nabi Nuh. Angin topan yang menimpa kaum “Aad dan Tsamud. Gempa bumi yang menimpa Sodom dan Gomorrah (Kaum Nabi Luth) dan lain sebagaimana. [5] Semuanya itu terekam dengan jelas dalam sejarah umat manusia, dan kita sebagai umat Islam harus mengambil pelajaran darinya. Yakni, manusia hidup di dunia ini sedang merantau, akhirnya nanti akan kembali kepada Allah SWT.
Bagi Allah masa yang akan datang ataupun segala sesuatu yang akan terjadi pada hari esok ataupun seratus tahun lagi itu sama saja. Oleh karena itu, tidak heran kalau kita temukan dalam al-Qur’an, Allah SWT menyebutkan segala peristiwa yang akan terjadi pada hari kiamat kelak pada
Q.S. al-Kahfi : 99 :
“Dan hari itu Kami biarkan mereka berbanting-banting. Yang satu laksana gelombang menimpa yang lain. Sangkakala pun dibunyikan. Dan Kami kumpulkan mereka sekalian”. [6]
Dalam Q.S. az-Zumar : 68 , juga difirmankan Allah SWT :
“Sangkakala pun ditiup. Maka pingsanlah sekalian yang ada di langit. Dan sekalian yang ada di bumi. Kecuali siapa yang Allah kehendaki. Kemudian ditiup (Sangkakala) sekali lagi. Maka lihatlah, mereka tegak berdiri. Sambil menunggu (pengadilan)”.[7]
Juga firman Allah SWT, pada Q.S. al-Haaqqah : 16-17 :
“Langit terbelah. Sebab hari itu ia rapuh. (16). Dan para Malaikat ada di segala penjuru langit. Delapan menjunjung Arasy Tuhanmu hari itu (17)”. [8]
Juga firman Allah SWT, pada Q.S. asy-Syu’araa : 91 :
“Dan diperlihatkanlah dengan jelas neraka Jahim kepada orang-orang yang sesat”.[9]
Juga firman Allah SWT, dalam Q.S. al-Kahfi : 48 :
“Dan mereka akan di hadapkan kepada Rabbmu dengan berbaris (dan kepada mereka dikatakan). Kamu telah dating kepada Kami. Seperti Kami ciptakan kamu pertama kali. Sedangkan kamu mengira Kami tidak menetapi janji kepadamu ”. [10]
Juga firman Allah SWT, dalam Q.S. al-Fajr : 22 :
“Dan datanglah Rabbmu ; sedang para Malaikat berbaris-baris”. [11]
Juga firman allah SWT, dalam Q.S. an-Nahl : 1 :
“Telah pasti datangnya ketetapan Allah SWT, maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datangnya). Maha Suci allah dan Maha Tinggi, di atas sekutu-sekutunya yang mereka adakan bagi-Nya”. [12]
Seluruh peristiwa yang disebutkan di dalam al-Qur’an tersebut di atas sebenarnya terjadi pada masa yang akan datang. Akan tetapi, di dalamnya ada rahasia Allah SWT . Ini merupakan suatu bukti bahwa Allah SWT itu Maha Tinggi serta Maha Mulia dari dimensi waktu dan tempat. Dia adalah Dzat yang memberlakukan waktu dan masa kepada semua makhluk-Nya. Maha Suci Allah SWT dari keterikatan-Nya dengan waktu. [13]
Dapat kita ketahui beberapa rahasia alam yang telah diterangkan al-Qur’an kepada kita, bahwa Allah SWT memberlakukan waktu yang berbeda dari tiap-tiap makhluk-Nya.
Misalnya : satu hari bagi Malaikat, sama dengan lima puluh ribu tahun lamanya bagi manusia.
Hal ini dapat kita ketahui dari firman Allah SWT dalam :
Q.S. al-Ma’arij : 4 :
“Para Malaikat dan Malaikat Jibril (menghadap) kepada Allah SWT dalam sehari, yang ukurannya sama dnegan lima puluh ribu tahun (ukuran manusia)”.[14]
Apabila seseorang meninggal dunia, kemudian nanti dibangkitkan kembali, maka sebenarnya dia keluar dari suatu kronologi waktu ke suatu kronologi waktu yang lain. Oleh karena itu dapatlah diimajinasikan bahwa : “Manusia hidup di dunia itu adalah merantau”, dan akhirnya nanti pasti akan kembali kepada Tuhan (Allah SWT)”.
Banyak ungkapan yang mengandung filosofi yang sangat tinggi mengenai dimensi waktu itu. Diantaranya yang penyusun ingat adalah : “Sesungguhnya orang yang hidup di dunia itu, sedang melakukan suatu perjalanan (merantau)”.
Bagi orang yang beragama, terutama Agama Islam, tentunya sangat percaya bahwa sebelum seseorang itu lahir ke dunia, tempatnya berada di alam rahim (dalam kandungan / perut ibunya). [15]
Dia berada di dalam kandungan / perut ibunya selama sembilan bulan sepuluh hari.
Dari sana kemudian dia menuju kea lam raya ini, yaitu lahir ke dunia. Seseorang lahir kea lam raya ini sebagai bayi yang kecil mungil tidak bisa apa-apa, kemudian tumbuh menjadi anak-anak, lalu remaja, terus dewasa dan tuan.
Akhirnya kemudian menuju ke terminal atau alam kubur, dan sebagai akhir dari sebuah perjalanan hidup atau perantauan di dunia atau alam raya ini adalah alam rukh lagi, kembali kehadapan Allah SWT.
Selama melakukan perjalanan atau perantauan di dunia atau alam raya agar manusia belajar dari apa yang dialami, dilihat dalam perjalanannya atau perantauannya. Agar manusia pandai-pandai menangkap isyarat Allah SWT yang diberikan kepada manusia. Apakah perantauan yang sudah dilaluinya itu diisi dengan amal-amal yang shaleh atau justru sebaliknya.
Bagi manusia, hidup bukanlah sekedar perantauan, akan tetapi hidup adalah waktu-waktu yang harus diisi dengan amal shaleh.
Apabila waktu-waktu yang dilalui hanya dipergunakan untuk mencari makan dan mengumpulkan harta kemudian mati atau meninggal, maka manusia itu tidak ada bedanya dengan semut. Sebab semutpun melakukan hal yang sama. Allah SWT dalam :
Q.S. al-Ashr : 1-3 :
“Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.
Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya istiqamah dalam kesabaran.” [16]
Dalam ayat di atas Allah SWT bersumpah dengan masa atau waktu. Segala seuatu yang Allah SWT pergunakan untuk bersumpah, menunjukkan sesuatu itu memang benar-benar urgent (penting). Penting untuk dicermati dan disikapi. Juga penting untuk dievaluasi.
Penting untuk dicermati, maksudnya adalah, waktu mengajarkan kepada manusia tentang sejarah orang-orang terdahulu baik yang taat kepada Allah SWT maupun yang ingkar. Terserah, apakah manusia dalam perantauannya ini memilih jalan ketaatan atau jalan kemungkaran. Waktu, tidak pernah kompromi dengan siapapun. Dia tidak akan pernah menunggu manusia, dan kalau dia sudah berlalu maka dia tidak akan kembali lagi. [17]
Penting untuk dievaluasi, maksudnya adalah bahwa perantauan yang kita lalui sejalan dengan berlalunya waktu. Selama melakukan perantauan di dunia ini, pasti akan dipertanyakan Allah SWT. Kemana manusia menghabiskan perantauannya. Untuk apa manusia mengisi perantauannya.
Rasulullah SAW pernah bersabda, bahwa :
“Perantauan manusia hidup di dunia hakekatnya adalah melewati perjalanan waktu-waktu. Waktu-waktu itu laksana pedang, jika manusia tidak mempergunakan waktunya dengan baik, maka waktu itu akan membinasakannya”. [18]
Dalam buku yang berjudul “Passing on the front”, yang disusun oleh Orizon Sweet Marden , Perantauan itu seperti hadiah. Hadiah-hadiah itu dating setiap pagi. Apabila hadiah itu tidak diambil, maka hadiah itu akan hilang sia-sia. [19]
Filosofi ini bermakna, bahwa manusia itu ibarat orang yang sedang merantau, maka selama merantau dia mendapat hadiah-hadiah, yaitu waktu atau kesempatan untuk menggunkan perantauannya dengan baik. Apabila manusia tidak menggunakan dengan baik, maka manusia akan kehilangan waktunya dan tidak akan dapat kembali lagi. Artinya, perantauannya di dunia akan sia-sia, dan pada akhirnya ketika dia kembali kepada Tuhan (Allah SWT) dia tidak membawa bekal apapun.
DR. Yusuf Qardhawi berkata : “Perantauan adalah kehidupan. Siapa yang menyia-nyiakannya berarti dia telah menyia-nyiakan hidupnya”. Padahal kehidupan adalah modal utama manusia untuk bisa meraih kesuksesan baik selama dalam perantauannya di dunia maupun ketika manusia kembali kepada Tuhannya (Allah SWT) [20].
Kunci pertama untuk sukses di dalam melakukan perantauan di dunia, manusia itu harus beriman kepada Allah SWT.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagaimana telah penyusun sampaikan dalam Q.S. al-Ashr, pada ayat berikutnya :
“melainkan orang-orang yang beriman dan beramal shaleh”.
Sebab janji dan sumpah manusia kepada Allah SWT untuk menjadi hamba-Nya lah yang dapat menyelamatkan manusia dari kesengsaraan abadi (neraka) ketika manusia kembali dari pengembaraannya di dunia atau alam raya ini.
Rasulullah SAW bersabda :
“Barang siapa yang di dalam hatinya ada keimanan walaupun sebesar biji dzarah, maka dia akan masuk syurga”.[21]
Keimanan saja tidaklah cukup tanpa adanya bukti berupa amal shaleh. Amal shaleh merupakan kumpulan dari dua hal, yaitu keikhlasan dan kebenaran. Fudhail bin Iyadh menjawab ketika dia ditanya tentang amal yang paling dicintai Allah SWT, amalan yang paling dicintai Allah SWT adalah “amalan yang ikhlas dan juga benar”.
Sesudah beriman dan beramal shaleh, maka manusia menjadi pribadi yang shaleh secara individu.
Selain shaleh secara individu atau pribadi, manusia juga dituntut secara social, sebagaimana dalam ayat al-Ashr berikut :
“nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran”.
Kata nasehat menasehati merupakan kata yang mengandung perintah untuk dapat menularkan kebenaran yang sudah dipahami dan mengamalkannya kepada orang lain.
Dalam rangka menyeru manusia, bahwa manusia itu adalah melakukan perantauan dan nanti akhirnya akan kembali kepada Tuhan (Allah SWT), maka sebelum kembali kepada (Tuhan) Allah SWT selain yang telah diuaraikan di atas maka manusia supaya beramal shaleh.
Untuk menwujudkan kesemuanya itu pasti manusia akan menghadapai berbagai halangan dan rintangan. Di sini, manusia dituntut untuk memiliki kesabaran yang mapan dan konsisten.
Maka pada ayat al-Ashr berikutnya adalah :
“nasehat menasehati supaya istiqamah di dalam kesabaran”.
Manusia yang melakukan perantauan dengan sifat-sifat yang tersebut di atas, maka dialah yang disebut manusia yang beruntung. Sebaliknya apabila dalam melakukan perantauannya hanya untuk urusan yang sia-sia, maka dia seperti yang Allah SWT firmankan dalam :
Q.S. al-Ashr : 2 :
“Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian”.
Imam, Saiful, “7 TERAPI ISLAMI”, Almawardi Prima : Jakarta, 2004
Jassin, H, B, “BACAAN MULIA”, Djambatan : Jakarta, 1977
Kahmad, dadang, “SOSIOLOGI AGAMA”, Rosda : Bandung, 2003
Shihab, M, Quraish, “MUKJIZAT AL-QUR’AN”, Mizan, Bandung, 2001
Qardhawi, Yusuf, “AL-QUR’AN BERBICARA TENTANG AKAL DAN ILMU PENGETAHUAN”, Gema Insani : Jakarta, 1998
Rais, Zaim, “BULETTIN DAKWAH”, DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia : Jakarta, 1969
Shihab, M, Quraish, “TANGAN TUHAN DIBALIK SETIAP
FENOMENA”, Lentera Hati : Jakarta, 2004
Shihab, M, Quraish, “MEMBUMIKAN AL-QUR’AN”, Mizan : Bandung, 1999
Tanjung, S, “BULETIN MIMBAR JUM’AT”, Dewan Akbar : Jakarta, 1977
[1] Qardhawi, Yusuf, “AL-QUR’AN BERBICARA TENTANG AKAL DAN ILMU PENGETAHUAN”, (Gema Insani : Jakarta, 1998), 313.
[2] Imam, Saiful, “7 TERAPI ISLAMI”, (Almawardi Prima : Jakarta, 2004), 161
[3] Jassin, H, B, “BACAAN MULIA”, (Djambatan : Jakarta, 1977), 761.
[4] Jassin, H, B, Ibid, 343.
[5] Kahmad, dadang, “SOSIOLOGI AGAMA”, (Rosda : Bandung, 2003), 30-31.
[6] Jassin, H, B, Op.Cit, 413.
[7] Jassin, H, B, Ibid, 650.
[8] Jassin, H, B, Ibid, 805.
[9] Jassin, H, B, Ibid, 501.
[10] Jassin, H, B, Ibid, 405.
[11] Jassin, Ibid, 860.
[12] Jassin, H, B, Ibid, 361.
[13] Shihab, M, Quraish, “TANGAN TUHAN DIBALIK SETIAP FENOMENA”, Lentera Hati : Jakarta, 2004), 3
[14] Jassin, H, B, Op.Cit, 808.
[15] Shihab, M, Quraish, “MEMBUMIKAN AL-QUR’AN”, (Mizan : Bandung, 1999), 69.
[16] Jassin, H, B, Op.Cit, 878.
[17] Shihab, M, Quraish, “MUKJIZAT AL-QUR’AN”, (Mizan : Bandung, 2001), 166-189.
[18] Tanjung, S, “BULETIN MIMBAR JUM’AT”, (Dewan Akbar : Jakarta, 1977).
[19] Rais, Zaim, “BULETTIN DAKWAH”, (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia : Jakarta, 1969).
[20] Rais, Zaim, Ibid.
[21] Rais, Zaim, Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar