08 Februari 2008

DARI FORUM GURU

Forum Guru
www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1105/22/1104.htm - 20kKepedulian Pemerintah
Oleh A. SUDALIM GYMNASTHIAR

Kita bisa pandai, menulis dan membaca karena siapa
Kita bisa pandai, beraneka bidang ilmu dari siapa
Kita bisa pandai, dibimbing Pak Guru
Kita bisa pandai, dibimbing Bu Guru
Guru bak pelita penerang dalam gulita, jasamu tiada tara

DARI syair lagu di atas, dapat kiranya kita katakan, bahwa tanpa guru mungkin tidak akan ada ilmu pengetahuan (knowledge) dan teknologi (technology). Tanpa guru, tidak mungkin seseorang menjadi ketua MPR, presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, dokter, hakim, insinyur, teknokrat, pengusaha, wartawan, dan lain-lain. Tanpa guru, tidak mungkin suatu negara bisa berkembang dengan baik.
Kita bisa belajar dari sejarah, bagaimana bangsa Jepang membangun kembali negaranya yang hancur lebur dibom atom (Nagasaki, Hirosima) oleh sekutu pada perang dunia kedua. Yang ditanyakan oleh Sang Kaisar, ketika perang usai, bukan berapa senjata yang tersedia. Tetapi, berapa jumlah guru yang masih tersisa (hidup) untuk mulai membangun negerinya yang kalah dalam perang dunia kedua itu. Realitanya, dengan kebijakan mengedepankan guru (pendidikan) sebagai langkah awal membangun sebuah peradaban, telah mengantarkan Jepang menjadi negara maju dan modern.
Dengan demikian, guru memiliki peran strategis dalam menentukan kemajuan bangsa. Namun, peran yang strategis itu tampaknya belum mendapat perhatian dan penghargaan yang setimpal dengan tugas dan kewajiban yang diembannya. Jabatan guru masih dipandang sebagai "profesi pengabdian", yang seakan-akan tidak patut diberi kesejahteraan yang layak. Hal ini bisa dilihat dari tingkat kesejahteraan para guru Indonesia yang relatif rendah, jika dibandingkan dengan profesi lain pada umumnya.
Memang, jika merujuk pasal 7 UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, setiap pegawai negeri dan BUMN memiliki standar gaji yang sama. Namun, pada praktiknya masih diskriminatif, masih ada perlakuan tidak adil antara tenaga fungsional satu dengan lainnya. Dan posisi guru yang paling tidak menguntungkan. Akibatnya, wajar jika kesungguhan guru dalam mendidik, membimbing, dan mengajar mengalami penurunan, karena harus memikirkan hal lain, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak bisa dipenuhi dari gaji yang diterima sebagai guru..
Research yang dilakukan penulis di Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu (2005), untuk memenuhi kekurangan ekonomi, para guru rela menjadi tukang ojek, calo, pengamen jalanan, dan profesi lain yang eksistensinya kurang mendukung kewibawaan sebuah profesi. Akibatnya, tidak hanya tercipta mutu pendidikan yang rendah, melainkan hancurnya peradaban suatu bangsa.
Secara yuridis formal, undang-undang menyatakan bahwa sektor pendidikan, dansubsektor kesejahteraan guru mendapat alokasi dana 20 persen dari APBN. Tetapi realitanya, belum ada realisasi yang real terhadap pernyataan tersebut. Itu artinya, pemerintah belum sungguh-sungguh memperhatikan pendidikan dan subsektor kesejahteraan guru.
Konsep pemerintah kita memang berbeda dengan negara-negara yang telah maju seperti AS, Prancis, Australia, Jerman yang memprioritaskan sektor pendidikan dan subsektor kesejahteraan guru pada skala prioritas dalam APBN-nya. Misalnya di Prancis, perbedaan gaji guru dengan pegawai lain mencapai 157%, di AS 128%, Australia 116%, Selandia Baru 185%, dan Belanda 111%. Malahan, dibandingkan dengan rata-rata gaji pegawai di sektor industri, gaji guru SD dan sekolah lanjutan jauh lebih tinggi lagi. Di Swedia 235%, di Jerman Barat (sebelum reunifikasi) 213%, Belanda 126%, dan Australia 155%.
Dengan kesejahteraan yang relatif memadai tersebut, para guru di negara lain dapat menjalankan tugasnya secara "aman" dan "nyaman". Mereka dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena sanggup membeli buku-buku dan referensi lain yang mendukung tugasnya di depan kelas. Para guru yang menerima gaji lumayan cukup tinggi dapat melengkapi diri dengan peralatan canggih, seperti komputer, note book, internet, dan lain-lain yang menjadikan dirinya tidak tertinggal teknologi. Banyak guru di negara-negara maju memiliki perpustakaan pribadi di rumah.
Dengan keadaan seperti itu, wajar kalau mereka memiliki rasa kebanggaan terhadap profesi yang disandangnya. Di sisi yang lain, mereka pun mempunyai perasaan superioritas (superiority feeling) yang memadai untuk mengembangkan diri. Perasaan bangga dan perasaan superioritas (dalam konotasi positif) itulah modal para guru untuk mendidik siswa secara profesional.
Guru-guru Indonesia adalah manusia biasa, yang tidak cukup disanjung dengan julukan pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka membutuhkan sandang, pangan, papan, dan pendidikan yang layak sebagaimana orang hidup dengan profesi lain di luar guru. Namun, harapan seperti ini, belum bisa dipenuhi dari profesi sebagai guru. Sebagai puncak kekesalan mereka, tanggal 10 April 2000, ribuan guru dari Jawa Barat menduduki Gedung DPR/MPR di Jakarta, menuntut keadilan atas nasib mereka yang terus-menerus berada di garis kemiskinan.
Alhasil, ada collective bargaining (perjanjian bersama) antara PGRI dan pemerintah, di samping peningkatan kesejahteraan. Tetapi, lagi-lagi pemerintah belum begitu signifikan memperhatikan nasib guru. Walau sudah turun ke jalan (demonstrasi), toh nasib mereka masih tersia-siakan. Pertanyaannya, apakah pemerintah menginginkan seluruh guru Indonesia datang ke Jakarta untuk menggugat rasa ketidakadilan pemerintah terhadap guru? Tentu saja, bagi guru sangat bisa untuk melakukan manuver seperti itu. Kalau memang pemerintah masih terus tidak mendengar jeritan kesengsaraan guru. Tapi, alangkah bijak jika pemerintah memiliki kesadaran, bahwa untuk mewujudkan negara yang kuat, perlu SDM yang hebat. SDM yang hebat dapat dibentuk lewat tangan guru. Dengan demikian, guru adalah penentu terdepan dalam mewujudkan hal itu. Jadi, jika negara ini ingin maju, tidak ada pilihan lain kecuali ada kemauan (political will) pemerintah untuk menempatkan pembangunan pendidikan dan subsektor kesejahteraan guru pada skala prioritas.
Di Hari Ulang Tahun Persatuan Guru Republik Indonesia yang ke-60, tanggal 25 November 2005 yang dipusatkan di Solo, Jawa Tengah, para guru berharap agar pemerintah, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terketuk hatinya untuk memprioritaskan sektor pendidikan dan subsektor kesejahteraan guru, diawali penandatanganan Undang-Undang Guru, di samping merealisasikan 20% APBN untuk sektor pendidikan seperti amanat undang-undang.*** Penulis, Guru SMA PGRI 2 Sindang, Vice Director of Monitoring Implementation Committee of Regional Autonomy Kabupaten Indramayu.

Tidak ada komentar: