09 Februari 2008

HAM DALAM DIRI

Sejarah tidak dapat dipisahkan dari hidup manusia, sebab ia merupakan rangkaian tak terpisahkan dari hidup itu sendiri. Sejarah merupakan mata rantai dari kehidupan sebelumnya, sekarang dan akan datang. Demikian pula dengan sejarah kehidupan bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia yang terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa atau ethnis yang mempunyai karakteristik masing-masing dalam hal kepercayaan dan agama serta kebudayaan itu dalam beberapa kurun waktu lampau dapat hidup berdampingan secara harmonis. Mereka saling menghormati hak-hak azasi masing-masing, sehingga dapat menjalani hidupnya jauh dari permusuhan dan prasangka-prasangka buruk.[1] Itulah sebabnya para pendiri negeri kita tercinta ini merumuskan konsep “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan negara. 2
Namun kini, jika kita membaca di media cetak ataupun mendengarkan berita-berita dari media elektronik, terdapat berita-berita yang membawa kengerian sangat dalam di lubuk hati kita. Sebab, di beberapa daerah di wilayah negeri tercinta ini sedang koyak moyak dilanda keprihatinan dengan ketidak pastian kehidupan yang terasa semakin hari semakin gersang 3. Sementara krisis ekonomi belum mau beranjak meninggalkan kita.
Keprihatinan ini semakin memilukan ketika diduga bahwa faktor-faktor yang dijadikan pemicu adalah pelanggaran Hak Azasi Manusia yang pada akhirnya melahirkan berbagai benturan dan konflik.
Sering juga kita menjumpai bahwa keyakinan agama menimbulkan sikap egois dan cenderung kepada pelangggaran Hak Azasi Manusia. Loyalitas agama hanya menyatukan beberapa orang yang tertentu dan memisahkan yang lainnya. Oknum-oknum tertentu menjadikan masalah agama dan ethnis sebagai pembenaran untuk melakukan pelanggaran hak-hak azasi manusia.
Kasus Aceh, Ambon, Banyuwangi, Cipayung, Ciracas, Kalimantan Barat, Ketapang, Kupang, Maluku Utara, peledakan bom di Katedral-Jakarta, peledakan bom di Legian – Bali, peledakan bom di Masjid Istiqlal, kasus Poso, Tanjung Priok (yang lebih tepat disebut “Priok Massacre”) dan tempat-tempat lain sebenarnya merupakan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) berat. 4
Kondisi ini mestinya menyadarkan kita, bahwa fenomena-fenomena yang tengah kita hadapi ini akan terus berlangsung dan akan bertambah parah cenderung ke kondisi yang serba kelabu dan kemungkinan akan terjadi semakin terpuruk berkepanjangan jika tidak segera diatasi.
Persoalannya bukanlah masalah superioritas, akan tetapi hal terpenting adalah apakah umat Islam sebagai penduduk terbesar bangsa ini memiliki kesamaan pemahaman yang kualitatif terhadap ayat-ayat al-Qur’an dalam segala konsep dan ajaran-ajarannya. Termasuk di dalamnya ajaran-ajaran yang mengandung tata nilai perlindungan dan penegakan Hak Azasi Manusia. Sebab, kenyataannya telah menunjukkan bahwa di antara umat Islam itu sendiri terpecah belah.
Ada sebagian umat Islam terlihat begitu gigih meneriakkan kata-kata hak-hak azasi manusia seolah-olah merekalah pembela hak-hak azasi manusia terdepan. Sebagian yang lain begitu acuh sehingga asing dengan kata Hak Azasi Manusia. Mereka juga tidak peduli apakah Hak Azasi Manusia dilaksanakan atau tidak. Sebagian lagi malah justru giat melanggar dan menginjak-injak Hak Azasi Manusia. Sebagian umat Islam yang lain tidak begitu tahu apa Hak Azasi Manusia itu. Tidak heran jika Hak Azasi Manusia mereka dilanggarpun, mereka hanya pasrah atau tak tahu harus berbuat apa. 5
Padahal Hak Azasi Manusia adalah suatu fenomena yang mustahil dihindari. Sebab Hak Azasi Manusia merupakan sesuatu yang fundamental, yang melekat pada setiap manusia.
Hal ini mestinya disadari dan dipahami oleh setiap umat Islam, bahwa baik konsep, ajaran maupun dalam praktek, Islam meletakkan dasar-dasar dan ajaran-ajaran yang mengandung tata nilai universal dan abadi. Tata nilai yang universal dan abadi itu adalah perlindungan dan penegakan terhadap hak hak azasi manusia. Hak-hak azasi manusia itu antara lain adalah hak azasi manusia dalam beragama.
Islam, juga memiliki kelenturan untuk menampung keaneka-ragaman dalam kehidupan. Itu pula sebabnya dalam penerapan hak azasi manusia dalam beragama, Islam menghendaki umatnya di manapun dia berada dan pada zaman kapanpun agar dalam berinteraksi sosial memperhatikan dan menegakkan tata nilai perlindungan hak-hak azasi manusia dalam kehidupan beragama.
Ayat al-Qur’an yang mengandung tata nilai perlindungan dan penegakan Hak Azasi Manusia Beragama tercermin dalam Q.S. al-Kafirun (109) ayat 6, yaitu :
لَكُمْ دِ يْنُكُمْ وَ لِىَ دِ يْن ِ

(…“Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”)
Selain ayat tersebut di atas penyusun menemukan pula 3 (tiga) ayat yang mempunyai tema sama, yaitu Q.S. al-Baqarah (2) ayat 256, Q.S. al-Kahfi (18) ayat 29 dan Q.S. asy-Syuura (42) ayat 15.
Terhadap Q.S. al-Kafirun ayat 6 itu , HAMKA dalam tafsirnya “Tafsir al-Azhar” menafsirkan sebagai ayat yang memberikan pedoman tegas bagi umat Islam bahwa aqidah Islam tidak dapat dikompromikan dengan aqidah agama lain. Menurut HAMKA bahwa aqidah Islam tidak mengenal sinkretisme atau penyesuaian.
Dengan demikian pengamalan masing-masing agama sepenuhnya diarahkan kepada penganut masing-masing agama itu sendiri 6, sehingga tidak ada alasan bagi masing-masing penganut agama untuk saling mengganggu, menyerang atau melakukan perbuatan apa saja yang mengarah kepada kerusakan yang dapat menimbulkan kerugian dan penyesalan.
[1] Daniel , Sosiologi kelas III untuk SMU, (Jakarta : Galaxy Puspa Mega, 1996), h. 23 dan Sosial dan Agama, Republika, (Jakarta), 28 Pebruari 2003, h. 27
2 GBHN, (Jakarta : Simplek, 1993), h.72
3 Imam B. Prasojo, “Analisis”, Jawa Pos (Surabaya), 20 Desember 2001, h. 3
4 Sonny, “Potret Konflik Poso”, Jawa Pos, (Surabaya), 20 Desember 2001, h. 4 dan Maluku Hari ini, Buletin, (Jakarta), 7 Maret 2001, h. 4 dan Achmad Satori, “Teror dalam Pandangan Islam”, Tafakkur” (Jakarta), V, 208 (Oktober, 2002), 1-4
5 Munawir Sjadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa ini, ( Jakarta : UI Press, 1994), h. 24.
6 HAMKA, Tafsir al-Azhar, (Surabaya : Yay. Latimojong, 1984), h. 262

Tidak ada komentar: