Penjelasan tenyang biografi diambil dari Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. HAMKA akronim dari Haji Abdullah Malik Karim Amrullah adalah seorang ulama dan penulis Islam Indonesia. Beliau lahir di desa kecil Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat, pada tanggal 17 Pebruari 1908 dan wafat tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta. Ibunya dari keluarga bangsawan. Ayahnya adalah seorang dokter yang bernama Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul. Haji Rasul ini pernah belajar agama selama sepuluh tahun di Mekah dan dia berasal dari keluarga ulama. Kakek HAMKA bernama Amrullah, adalah seorang ulama terkenal di Minangkabau, Sumatera Barat.
Dalam usia enam tahun HAMKA dibawa ayahnya ke Padang Panjang dan memulai pendidikan formalnya di “Sekolah Diniyah” di sana, yaitu sekolah keagamaan pertama yang menggunakan sistem pendidikan modern. Malamnya HAMKA belajar mengaji Al-Qur’an pada ayahnya sendiri sampai tamat
Pada tahun 1922, HAMKA pindah sekolah ke Parabek, Bukitinggi kemudian tahun 1924 pergi ke Jawa. Di Jawa beliau mendapat kesempatan mengikuti kuliah-kuliah umum yang diberikan oleh pemimpin-pemimpin muslim terkemuka yaitu H.O.S. Tjokroaminoto, R.M. Soerjopranoto. Dari beliau-beliau itulah HAMKA mulai mempelajari pergerakan-pergerakan Islam yang waktu itu sedang bergelora.
Tahun 1925, HAMKA pulang ke Padang Panjang. Waktu itulah timbul bakatnya sebagai pengarang dan mulailah beliau mengarang. Buku pertama yang dikarangnya berjudul Chatibul Ummah. Sejak saat itu beliau memasuki dunia jurnalisme dengan mengirim artikel-artikelnya ke harian “Hindia Belanda” yang dieditori Haji Agus Salim. Di Padang Panjang, beliau mendirikan jurnal Muhammadiyah pertama yang diberi nama “Chatibul Ummah”. Dari sinilah beliau mulai berkarir sebagai penulis dan mengadopsi nama HAMKA.
Pada tahun 1927 HAMKA menunaikan ibadah haji yang pertama kali. Pengenalan singkat namun intensif pada dunia Arab tidak hanya meningkatkan kemampuan bahasanya, tetapi juga membuatnya mengenal khasanah sastera Arab. Pengalaman naik haji ini memberi ilham yang sangat kuat bagi HAMKA yang nantinya dituangkan dalam romannya yang pertama yang berjudul Di bawah Lindungan Ka’bah.
Selama di Mekah itu HAMKA juga bekerja sebagai responden dari harian Pelita Andalas di Medan. Pulang dari sana beliau menulis di majalah Seruan Islam Tanjung Pura (Langkat) dan membantu Bintang Islam serta Suara Muhammadiyah Yogyakarta.
Pada tahun 1928 terbitlah buku ceriteranya dalam bahasa Minang, Si Sabariah. Ketika itu beliau memimpin majalah Kemauan Zaman yang terbit hanya beberapa nomor saja.
Pada tahun 1928 ini juga terbit buku-buku : Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Ringkasan Tarich umat Islam, Adat Minangkabau dan Agama Islam, Kepentingan Tabligh, Ayat-ayat Mi’raj dan beberapa yang lain.Tahun 1928 ini juga beliau menjadi peserta muktamar Muhammadiyah di Solo.
Aktivitasnya di Muhammadiyah membawanya ke Makasar (1932-1934) sebagai pengajar. Di sini, diterbitkannya majalah Al-Madhi. Perkenalan HAMKA dengan adat Bugis, Makasar memberinya bahan ceritera yang kemudian disusunnya dengan indah dalam romannya yang kedua yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Tahun itu juga beliau pergi ke Medan. Pengalamannya ini kemudian oleh beliau dituangkan dalam novelnya yang berjudul Merantau ke Deli.
Tahun 1932 menjadi mubaliq Muhammadiyah. Tahun 1934 menjadi Majelis Konsul Muhammadiyah. Tahun 1936, bersama kawan-kawannya HAMKA menerbitkan mingguan Islam yang mencapai puncak kejayannya sebelum perang dan beliau menjadi memimpinnya yaitu majalah Pedoman Masyarakat di Medan. Melalui majalah tersebut terbit karangan-karangannya baik mengenai agama, filsafat, tasawuf, ceritera pendek, novel mapun roman.
HAMKA menjadi pemimpin Muhammadiyah di Sumatera Timur pada tahun 1942. Pada tahun 1945-1949 beliau tinggal di Sumatera Barat.
Pada tahun 1946 berlangsung muktamar Muhammadiyah di Padang Panjang. Beliau terpilih sebagai ketuanya. Namun pada tahun 1947 terjadi agresi militer pertama yang menyebabkan walikota Padang Bagindo Azis Chan wafat ditembak Belanda, sehingga bangkitlah perlawanan bersenjata. Untuk keperluan perlawanan ini didirikanlah suatu badan yang dikenal dengan nama FPN (Forum Pertahanan Nasional) dan HAMKA dipercaya sebagai ketua sekretariatnya.
Pada tahun 1949 HAMKA pindah ke Jakarta, di mana nantinya setelah 25 (dua puluh lima) tahun di Jakarta, tercatat tidak kurang dari 60 (enam puluh) buku ditulisnya.
Pada tahun 1950 beliau memulai karirnya sebagai pegawai negeri di Departemen Agama. Dalam tahun itu pula beliau menunaikan ibadah haji yang ke dua. Dalam kesempatan tersebut beliau bertemu dengan pengarang-pengarang Mesir, antara lain adalah Thaha Husein dan Fikri Abadah. Karena beliau sangat menguasai bahasa Arab, maka beliau mampu membaca secara luas literatur Arab.
Tahun 1952 beliau berkunjung ke Amerika Serikat. Kemudian pada tahun 1953 beliau menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Tahun 1955, setelah berlangsung Pemilihan Umum, HAMKA terpilih sebagai anggota Majelis Konstituante mewakili partai politik Islam Masyumi. Tahun 1958 menjadi delegasi Indonesia untuk simposium Islam di Lahore.
Tahun 1958 ini pula beliau diundang oleh pemerintah Mesir dan beliau mendapat gelar kehormatan dari Universitas al-Azhar, Cairo (1958) dan Universitas Kebangsaan di Kuala Lumpur (1974).
Tahun 1959 beliau memimpin majalah tengah bulanan Panji Masyarakat, adalah majalah pengetahuan dan budaya Islam.
Majalah ini dihentikan penerbitannya tahun 1960 karena memuat tulisan Dr. Moh. Hatta, Demokrasi kita.
Tahun 1960 HAMKA turut mendirikan majalah Gema Islam. Majalah ini merupakan majalah pengetahuan dan budaya Islam. Dalam majalah inilah ceramah-ceramah HAMKA mengenai tafsir al-Qur’an di masjid al-Azhar - yang nantinya tersusun suatu buku – dimuat secara berkala. Pada tahun itu pula beliau terpilih menjadi Imam Besar Masjid al-Azhar.
Pada masa Demokrasi Terpimpin dibawah pemerintahan Presiden Soekarno, HAMKA dituduh terlibat ikut menyelenggarakan rapat gelap untuk melakukan percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Ini adalah tuduhan palsu. Karena tuduhan palsu tersebut, HAMKA ditahan dan dijebloskannya ke penjara pada tahun 1964.
Selama 20 bulan berada di tahanan (penjara), beliau menyusun naskah “Tafsir al-Azhar” sebanyak tiga puluh jilid. Setelah kejatuhan Soekarno, beliau dibebaskan dan kembali menjadi Imam Besar Masjid al-Azhar yang memiliki sekolah dasar dan menengah.
Dengan keahliannya sebagai sasterawan, beliau pernah diangkat oleh pemerintah sebagai anggota Badan Pertimbangan Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Beliau juga pernah menjabat sebagai dosen luar biasa pada Perguruan Tinggi Islam dan Universitas Islam di Makasar. Beliau pun pernah pula menjadi penasehat pada Kementerian Agama.
Tahun 1975, beliau menjadi Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan terpilih kembali pada tahun 1980. Pada tahun yang sama, beliau mendapat kehormatan dari harian Berita Buana sebagai “Tokoh Tahun ini”. Beliau juga mendapat gelar “Bapak Spiritual” dari sebagian besar orang-orang Cina yang baru masuk Islam.
Karena ketekunannya di dalam mengkaji sejarah, HAMKA tidak saja menghidupkan masa lalu yang terlupakan, akan tetapi juga tidak pernah gagal menemukan pesan-pesan moral sejarah untuk masa kini. Karya-karyanya memperlihatkan kepeduliannya terhadap penderitaan orang-orang pada lapisan bawah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar