06 Januari 2012

SESAL

Masih segar dalam ingatanku, kala itu hari Jum’at siang pukul 13,00 WIB di awal bulan Juli tahun 2006. Di luar udara sangat panas. Kala itu aku berada di sedang melepas lelah di kamar tidur sepulang aku dari mengajar. Sambil melihat televisi, AC kamar yang menyejukkan membuat aku mengantuk sambil sayup-sayup mendengarkan acara di televisi.

Diantara itu, aku mendengar dering dari hand phoneku yang aku letakkan disamping tidurku. Kulihat pengirimnya, ternyata dari bapakku. Aku biarkan saja. Karena beberapa waktu sebelumnya aku sedang marah kepada bapakku karena sesuatu yang tak dapat aku tuliskan di sini. Tak lama kemudian hand phoneku berdering lagi, tetapi juga tidak aku angkat. Tak lama lagi, hand phoneku berdering lagi berdering lagi dan juga tidak aku angkat. Kejadian ini terjadi berulang sampai 9 kali. Karena suara itu mengganggu istirahatku, akhirnya aku matikan saja hand phoneku. Aku tidak merasa bersalah sama sekali, bahkan aku semakin kesal kepada ayahku.

Setelah kejadian itu, selama 2 minggu ayahku berulang kali menghubungi aku, tetapi tetap tidak aku hiraukan dengan perasaan tidak bersalah. Aku juga tidak berpikir ataupun membayangkan betapa kecewanya ayah ketika tidak mendapat tanggapan dari aku.

Sebulan telah berlalu… dan akupun tidak sedetikpun memikirkan ayahku apalagi berusaha untuk menghubungi beliau.

Bulan ke tiga setelah kejadian itu, tepatnya di hari Senin siang di awal bulan Oktober, ketika itu aku sudah pulang dari mengajar ayahku datang ke rumah. Nampak memasuki teras rumah dengan langkah tertatih-tatih, badannya kurus kering

Setelah masuk rumah, ayahku berceritera bahwa beliau pada hari itu beliau merasa belum sembuh benar dari sakitnya. Beliau memaksakan datang ke rumah karena sangat mengkhawatirkan keadaanku yang beberapa waktu lalu tidak ada khabar berita dan tidak pernah menjawab telepon beliau. Lagi-lagi, aku belum menyadari betapa cintanya ayah kepadaku. Dengan sinar mata yang sayu, memelas penuh rindu dan kasih sayang, ayah menyampaikan kelegaannya karena aku dalam keadaan sehat.

Setelah makan siang, ayah istirahat di sofa ruang tengah. Sejenak aku melihat ayahku tertidur pulas... Sore harinya ayah pamit pulang. Kulepas ayah di depan rumah dengan janji beliau akan datang lagi di bulan Nopember. Ternyata janji itu tidak akan terpenuhi karena ayah telah pergi untuk selama-lamanya menghadap Sang Illahi di usia menjelang 77 tahun.

Kejadiannya, seminggu setelah ayah ke rumah… Sakit ayah bertambah parah … dirawat di rumah sakit Fatmawati. Setelah 3 hari di rumah sakit Fatmawati, penyakit ayah tidak kunjung berkurang. Oleh karena itu, ayah aku pindahkan ke rumah sakit Gatot Subroto. Hal ini aku lakukan, karena ayah adalah seorang Perwira Tinggi TNI/AD. Jika ayah dirawat di sana, aku berharap ayah akan mendapatkan perawatan yang lebih intensif. Ternyata harapanku sia-sia. Di rumah sakit Gatot Subroto tidak ada tindakan yang signifikan. Oleh karena itu, beliau aku pindahkan ke rumah sakit Premier Bintaro. Di rumah sakit inilah, perawatan dilakukan secara intensif. Tidak setiap hari aku menjenguk ayah. Aku mulai merasa betapa aku telah mencampakkan ayah.

Minggu ke 3 kondisi ayah semakin parah. Ketika jam besuk sore. Ketika ayah tergolek lunglai di tempat tidur, aku duduk menunggu sambil sebentar-sebentar memandang wajah ayah. Tersirat di wajah beliau gurat kesedihan. Aku meneteskan air mata… aku takut kehilangan ayah karena aku belum pernah membuat ayah bahagia. Sambil aku pejamkan mata kurangkai jemariku aku memohon kepada Allah untk kesembuhan ayah. Sejenak aku merasa sesuatu yang sangat sepi…hampa di hati … sehingga aku tidak mengetahui kehadiran suster disampingku. Bahuku digoyang pelan… aku kaget lalu aku menoleh kearahnya. Suster menyampaikan bahwa aku ditunggu dokter di ruangannya.

Bergegas aku menemui dokter. Dokter menyampaikan bahwa hasil diagnose secara intensif, ayah mengidap kanker tulang… Walaupun suara dokter itu pelan, namun aku sangat kaget. Kepala seperti dihantam oleh palu yang sangat besar… serasa hati terkoyak-koyak… telingaku seorah-olah tertutup oleh suara rintihan ayah … dihadapanku hanya terbayang wajah ayah yang memelas penuh kasih… sehingga aku tidak mendengar kelanjutan penjelasan dokter. Jantungku berdebar keras tetapi aku tak bisa menghentikannya. Tiba-tiba … aku merasa ada yang mendorongku… dan aku jatuh …Tak berapa lama ada yang mengulurkan tangan kepadaku, yaitu suster kepala rumah sakit. Sambil aku merebahkan kepalaku dibahunya. Aku menangis sampai aku merasa lega dan tabah menemui ayah

Ketika aku sampai di ruang ayah di rawat, ayah masih belum bangun. Aku tanyakan kepada suster, mengapa ayah tidurnya lama. Suster memberikan penjelasan bahwa ayah diberi obat penenang karena keluhan sakitnya semakin berkepanjangan.

Beberapa menit aku duduk menunggu ayah bangun. Tetapi ayah belum juga bangun sedangkan jam besuk sudah habis. Ketika aku beranjak dari kursi akan pulang… ayah terbangun… beliau berkata bahwa badannya terasa semakin lemah dan terasa sekujur badanya sakit yang sangat luar biasa. Penuturannya yang terbata-bata, membuat hatiku semakin ter-koyak, ter-iris tak ber-aturan, lidahku kelu untuk berkata lain selain kata “sabar ya pak”. Aku tidak jadi pulang. Aku duduk kembali disamping ayah… pelan-pelan aku usap-usap kaki ayah sambil menahan air mata.

Satu bulan ayah dirawat di rumah sakit Premier Bintaro, kemudian aku pindahkan ke rumah sakit Dharmais. Ayah dirawat di rumah sakit Dharmais sejak bulan Desember 2006 sampai April 2007, Senin tanggal 2 April 2007, ayah ke luar dari rumah sakit Dharmais. Hari Jum’at 6 April 2007 ayah menghembuskan nafas terakhir. Tanggal 7 April 2007, ayah dimakamkan di Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara militer. Sepulang dari pemakaman ayah, aku menerima secarik kertas dari ayah yang dititipkan sahabat beliau untukku “Anakku, Sibiran jiwa, Mutiara hati ayah,,, ayah sangat cinta dan sayang kepadamu ,,, Dimanapun ayah ber-ada, ayah selalu ingat kepadamu … Setiap denyut nadi ayah ada namamu, setiap sa;at ayah selalu bersedia mati untukmu. ” Ayah tidak mau membayangkan akan kehilanganmu. Intan Berlian ayah, kamu adalah sibiran jiwa ayah… ayah berdo;a semoga kamu mendapat kemuliaan di dunia dan akherat. Jangan lupa, jika ayah mendahului kami doakan setiap sa’at. Salam sayang, Intan Berlian ayah..

Sejak itulah, aku merasa sangat bersalah kepada ayah karena semasa hidup beliau aku pernah mencampakkan beliau padahal aku adalah puteri yang sangat beliau cintai dan sayangi. Sejak sa;at itu, sedetikpun bayang ayah tak pernah hilang dariku dan aku selalu berdo’a untuk beliau :Semoga beliau diampuni segala dosa dan kesalahannya, ditempatkan di sisi Allah di tempat yang mulia.” Amiiin !!!

Tidak ada komentar: