11 Mei 2008

LIBERALISASI PENDIDIKAN

LIBERALISASI PENDIDIKAN INI, TULISAN PAK GATOT. TUTI SANGAT KENAL DENGAN BELIAU KARENA SERING BERTEMU DI KEGIATAN "PROVISI EDUCATION". HARI INI TUTI DAPAT IZIN MENTAYANGKAN TULISAN BELIAU. MATUR SANGET NUWUN NGGIH PAK.
> Dalam sistem ketatanegaraan, negara membuat undang-undang sebagai> rambu-rambu terhadap tata kehidupan bermasyarakat. Pembuatannya merupakan> wujud suatu tindakan mengatur (*governing* ) yang merupakan kewajiban dan> tugas pemerintah (*government* ), untuk menyelenggarakan suatu pemerintahan> (> *governance* ). Begitulah halnya ketika negara Republik Indonesia> mengeluarkan undang-undang mengenai sistem pendidikan nasional (UUSPN Nomor> 20 tahun 2003). Tujuannya jelas, supaya penyelenggaraan pendidikan di tanah> air berada dalam rambu-rambu satu sistem, yang disebut pendidikan nasional.>> Mari kita lihat, apakah penyelenggaraan pendidikan di tanah air berjalan> seperti yang dikehendaki oleh undang-undang sistem pendidikan nasional> (sisdiknas), yaitu pendidikan yang diselenggarakan dalam satu sistem untuk> membuat rakyatnya menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab> serta mempunyai kesadaran nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.> Benarkah bahwa di Republik Indonesia tidak ada sistem lain, yang bukan> sisdiknas, dan beroperasi dengan leluasa, karena Pemerintah, dalam hal ini> Departemen Pendidikan Nasional nampaknya me-*liberalisasikan * pendidikan> di> wilayah tanah air ini? Karena *plural system* telah terjadi di beberapa> sekolah negeri dan sekolah-sekolah swasta.>> *Sekolah Nasional Plus*>> Fenomena kebebasan dalam penyelenggaraan pendidikan dimulai oleh lembaga> sekolah swasta. Tantangan globalisasi serta tuntutan modernisasi pendidikan> pada era teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan pada awal> tahun 1990an masyarakat penyelenggara sekolah swasta merintis pendidikan> bernuansa *internasional* . Memakai bahasa pengantar bahasa Inggris,> menyewa> guru *expatriate* serta mengedepankan aplikasi teknologi informasi. Dengan> era reformasi, gejala pembukaan sekolah sejenis semakin menjamur. Mereka> menamakan diri sebagai Sekolah Nasional Plus, membuat kombinasi kurikulum> asing dengan kurikulum nasional, dan membentuk asosiasi dengan nama> *Association> of National Plus School*, disingkat ANPS. Istilah "plus" dipakai di situ> untuk menunjukkan "kelebihan" dari sekolah biasa. Jumlah sekolah ini sudah> mencapai ratusan di seluruh Indonesia. Mereka bekerjasama dengan> lembaga-lembaga pendidikan di USA, Inggris, Australia, Singapura, India> bahkan Turki guna memperoleh akreditasi maupun *franchising. * Selain> bahasa> Inggris, bahasa-bahasa asing lainnya juga diajarkan, seperti bahasa> Cina-Mandrin, Jepang dan Arab.>> *Salah kaprah nomenklatur "Internasional" *>> Karena merasa mempunyai kelebihan dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai> bahasa pengantar dan proses pembelajaran oleh guru-guru *expatriate* ,> sekolah-sekolah swasta semacam itu ada yang menyebut dirinya Sekolah> Internasional. Kekacauan penggunaan istilah "internasional" ini dimulai> dari> *Sekolah Asing Expatriate* yang diizinkan beroperasi di Indonesia. Sekolah> internasional sebagai nomenkltur ini merujuk pada> *nationalities* murid-muridnya, bukan sistem pendidikannya. Misalnya,> Jakarta International> School itu adalah sekolah Amerika, Nederlandse Internationale School adalah> sekolah Belanda, Duetsche Internationale Schule adalah sekolah Jerman dan> lain-lainnya. Murid mereka terdiri dari berbagai kebangsaan. Jadi bukan> sistem pendidikannya yang internasional. Sistem yang betul-betul> internasional adalah apa yang disebut *International Baccaleaureate> Program*yang disingkat dengan IB. Institusi ini dibentuk tahun 1968> dan berpusat di> Swiss. Beberapa negara maju, termasuk di dalamnya beberapa lembaga> pendidikan pada waktu itu bersepakat membentuk wadah pendidikan yang> memungkinkan lulusannya dari manapun memiliki akses ke perguruan tinggi di> negara-negara maju tanpa harus mengikuti seleksi masuk ke perguruan tinggi> yang bersangkutan. Program IB inilah yang betul-betul internasional dan> sudah dilaksanakan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Di Indonesia> program> IB ini sudah dipakai oleh beberapa sekolah swasta. Program IB ini sangat> berat persyaratannya. Hanya sekolah yang kaya yang mampu menyelenggarakan> dengan biaya pendidikan yang sangat tinggi. Sekolah-sekolah penyelenggara> program IB ini harus mendapat sertifikasi dari *International> Baccaleaureate> Organisation* atau IBO dengan pengawasan berkala yang cukup ketat.>> *Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah Nasional Plus*>> Sekolah-sekolah yang menyebut diri sebagai Sekolah Nasional, seharusnya> berjalan menurut rambu-rambu Sistem Pendidikan Nasional. Bagi Sekolah> Nasional Plus yang bobot nasionalnya masih tebal, ketentuan-ketentuan dari> sisdiknas, dalam hal ini kurikulum nasional, masih diikuti dengan patuh,> disamping kurikulum asing yang diberikan dalam bentuk "plus" tadi.> Murid-muridnya disiapkan untuk mengikuti Ujian Nasional sebagai ketentuan> sisdiknas. Namun seiring berjalannya waktu banyak sekolah nasional plus> yang> menipis nasionalismenya dengan mengurangi bahkan mengabaikan kurikulum> nasional. Sebagian dari mereka bahkan mendapat persetujuan dari pemerintah.> Apakah hal ini bukan suatu bentuk liberalisasi pendidikan di tanah air?> Walaupun bukan pemerintah yang menyelenggarakan pendidikan itu. Siapa yang> dapat menjamin pembentukan *nation and charcter building* setiap> warganegara> dapat terlaksana dengan baik apabila yang diajarkan sehari-hari dalam> proses> pendidikan adalah ideologi, materi, atau "isme" yang bukan isi kurikulum> nasional yang berbasis Pancasila? Apakah *laissur fair* di bidang> pendidikan> itu dapat dibenarkan? Dengan dilaksanakannya Kurikulum Tingkat Satuan> Pendidikan (KTSP), maka liberalisasi pendidikan ini nyaris sempurna, karena> KTSP adalah kurikulum operasionl yang disusun dan dilaksanakan oleh> masing-masing satuan pendidikan atau sekolah.>> *Pembukaan sekolah dan perizinan yang sembarangan*>> Menurut undang-undang, setiap pembukaan lembaga pendidikan baik> pra-sekolah,> sekolah maupun perguruan tinggi harus melalui perizinan. Terlepas siapakah> yang harus memberi izin, Pemerintah Pusat atau Pemerintah daerah, karena> desentralisasi kepemerintahan. Pembukaan suatu sekolah memerlukan berbagai> pertimbangan, baik menyangkut masalah infrastuktur dan lingkungan sekolah,> tenaga pendidik/pengajar, kurikulum, visi dan misi sekolah, potensi peserta> didik, pembiayaan dsb. Namun berbagai pertimbangan itu banyak diabaikan,> sehingga banyak kita jumpai sekolah yang dibuka di ruko, rumah tinggal,> lahan yang sempit, mengganggu lalu lintas, membuat gaduh lingkungan> sehingga> seolah-olah pendidikan/sekolah merupakan *home industry* belaka.> Kemungkinan> diantara mereka ada yang samasekali tidak mempunyai izin. Ini terjadi> terutama di tingkat *play group *dan taman kanak-kanak yang merupakan> komoditi menguntungkan secara bisnis bagi penyelenggaranya. Pembelajaran> yang disertai bahasa Inggris atau dengan embel-embel tambahan latar> belakang> agama, penyelenggara pendidikan semacam ini sangat laris manis diserbu para> orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya, mulai dari pra-sekolah bahkan> sampai ke tingkat perguruan tinggi. Suatu kebanggaan sosial bagi orang tua> kalau anaknya sudah bisa bicara sedikit-sedikit bahasa Inggris atau bahasa> asing lainnya yang diajarkan di play group atau taman kanak-kanak. Gaya> hidup metropolitan orang tua modern mendorong menjamurnya industri> pendidikan semacam ini. Kalau gejala sosial di kota-kota besar di Indonesia> seperti itu tidak segera ditata dan diarahkan secara konstruktif,> dikhawatirkan bahwa liberalisasi pendidikan yang terjadi di lembaga-lembaga> pendidikan yang ada akan berdampak jauh bagi hari depan bangsa Indonesia.> Pendidikan bukan sekedar menjadikan siswa cerdas saja, tetapi juga menjadi> warganegara, artinya warga dari suatu negara dan bangsa yang memiliki jati> diri bangsa bukan warga dari jati diri yang lain. Dalam bukunya "Democracy> and Education: an Introduction of the Philosophy of Education" (1915), John> Dewey (1859-1952), seorang filosof Amerika telah mengingatkan bahwa kondisi> kritis suatu masyarakat demokratik dan industrial itu memerlukan penanganan> pendidikan yang baru, dia katakan :"*the agencies of democratic and> industrial society demanded new educational techniques*" . Mengambil contoh> bagaimana *leadership* dari pemimpin-pemimpin Prusia telah membentuk> warganegara Jerman yang tangguh nasionalismenya, John Dewey katakan: "ãà¥ò.> *under> the influence of German thought in particular, education became a civic> function, and the civic function was identified with the realization of the> ideal of the nation state ãà¥ò.. to form the citizen, not the "man" became> the> aim of education* ãà¥òãà¥ò". Tujuan pendidikan nasional tidak sekedar> membentuk> kepribadian manusia Indonesia yang baik, tetapi juga menjadikannya seorang> warga negara yang baik.>> Jakarta, April 2008>> Gatot Widayanto>> Konsultan Manajemen & Pengamat Pendidikan

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://pendidikan.infogue.com/liberalisasi_pendidikan